Ada dua cara mencapai Liverpool dari Manchester. Pertama, dengan menaiki bus atau mobil pribadi. Kedua, dengan menaiki kereta. Untuk alasan sentimental, saya memilih yang kedua.
Tidak sulit memang. Cukup masuk jalan tol M62, berkendaralah dengan santai atau duduk saja dengan tenang di dalam bus. Dalam tempo sekitar satu jam sampailah kita di Liverpool. Tapi, apa menariknya? Toh, jalan tol, ya, begitu-begitu saja: banyak mobil lalu-lalang, melihat ke kiri-kanan pemandangannya juga sangat kaku.
Seolah-olah, dengan melintasi jalan tol, ada banyak hal terlewat. Tidak ada yang bisa dinikmati. Tidak ada seninya.
Saya memilih untuk melangkahkan kaki ke stasiun Manchester Piccadilly, melihat-lihat tiket off peak demi mendapatkan harga yang lebih murah, dan naik ke atas kereta. Waktu tempuh untuk sampai ke Liverpool relatif sama, sekitar satu jam. Tapi, di waktu-waktu awal tahun seperti ini, saya masih bisa melihat dahan-dahan kering berkelebatan dari jendela, tembok-tembok bata yang basah sehabis diguyur hujan, dan atap-atap kayu gelap dari rumah yang berjejer sama rata.
Kereta memelan begitu memasuki stasiun Liverpool Lime Street. Ia menerobos lorong panjang yang di kiri-kanannya berjejal bata-bata kusam berlumut. Seolah-olah, ia sedang menerobos lorong menuju masa silam. Ada nuansa klasik yang tak bisa ditawar-tawar.
Tidak ada jalan lain menikmati Manchester, dan juga Liverpool, selain menghayati dalam-dalam nuansa klasik dan kuno yang mereka tawarkan. Kedua kota di Barat Laut Inggris itu bukanlah kota metropolitan. Tidak semewah London atau segaduh Jakarta. Manchester membenci gedung-gedung tinggi. Sebagian besar gedung yang ada di pusat kota mereka, yang kini menjadi toko ataupun hotel, dahulunya adalah gudang katun di abad ke-19. Jalan-jalan kecil mereka dipenuhi kafe atau bar yang menggoda untuk dikunjungi.
Liverpool? Ah, Liverpool... Gaung kejayaan mereka masih tersisa di tembok-tembok tua di pelabuhan Albert Dock. Sama seperti Manchester, Liverpool terkadang terlihat begitu tua dan teramat lusuh, tapi pada saat bersamaan begitu hidup.
Menyeberanglah sedikit dari stasiun Liverpool Lime Street menuju Albert Dock. Berhentilah sejenak untuk membeli hamburger di pinggir jalan dan nikmatilah seraya melihat pengamen atau seniman pantomim mencari rezeki dari uang receh. Hiburan yang tidak mewah, memang, tapi cukup menyenangkan.
Bisa jadi, romantisme seperti itulah yang menarik Juergen Klopp untuk datang jauh-jauh dari Jerman, yang cuacanya lebih bersahabat, ke utara Inggris, yang cuacanya dingin dan kadang tidak bisa ditebak. Terlebih, di balik sosoknya yang sangar, saya mengira Klopp adalah pria filosofis yang kadang bisa larut dalam momen-momen tertentu.
Ketika masih menangani Borussia Dortmund, Klopp pernah menyentuh papan "This Is Anfield". Papan tersebut dipasang pada lorong yang menghubungkan ruang ganti pemain dan lapangan oleh Bill Shankly dengan tujuan untuk mengintimidasi lawan. "Supaya pemain tahu mereka bermain untuk siapa dan lawan tahu mereka melawan siapa!" kata Shankly. Klopp belum pernah bertemu Shankly, tapi seolah-olah ia tahu arti penting di balik papan tersebut.
Di luar itu, Klopp mungkin menemukan kesamaan antara Dortmund dan Liverpool. Kedua kota adalah kota kelas pekerja dan didiami oleh klub dengan pendukung yang punya hasrat besar. Dortmund punya "Yellow Wall" yang menduduki tribun sebelah selatan Westfalen, yang saban kali Dortmund bertanding tidak hentinya berjingkrakan dan memperagakan koreo. Sementara Liverpool punya "The Kop" yang tidak akan pernah berhenti bernyanyi sepanjang pertandingan.
Tapi, menjadikan Liverpool sebagai Dortmund baru adalah tugas yang amat sulit. Untuk membangun Dortmund yang ditakuti di Bundesliga, Klopp setidaknya butuh tiga musim. Di Liverpool, ia tidak bisa langsung membangun dari nol, tetapi harus lebih dulu mempertahankan bangunan yang sudah kepalang reyot untuk tetap berdiri.
Liverpool yang sekarang bukanlah skuat dengan karakteristik yang mirip dengan Dortmund-nya dulu. Oleh karenanya, jangan heran jika eks bek Liverpool, Jamie Carragher, mendorong Klopp untuk mulai mendatangkan pemain yang sesuai dengan karakter permainan yang diinginkannya.
Gegenpressing a la Klopp, dan keinginannya untuk memainkan sepakbola yang penuh peluh keringat, sesungguhnya amat cocok dengan karakteristik permainan di Inggris. Klopp punya modal, tapi implementasinya di lapangan masih belum sempurna. Pemain-pemain Liverpool bisa dengan disiplin melakukan pressing terhadap lawan --hingga membuat tim segigih Stoke City sekali pun kesulitan untuk memainkan bola--, namun masih buruk dalam penyelesaian akhir.
Pada akhirnya, gegenpressing bukan soal kekuatan fisik saja, tetapi juga soal kecerdasan untuk membuat keputusan tepat dan harus dilengkapi dengan lini depan yang klinis. Sebab, apa gunanya menekan, merebut bola dari lawan, lalu melakukan serangan cepat, jika akhirnya adalah tendangan melenceng dari sasaran.
Semalam, Liverpool menghadapi rival abadi mereka --tim dari kota seberang--, Manchester United. Mari jujur saja, kendati pun menghasilkan pemenang, laga tersebut jauh dari kata sempurna. Di babak pertama, United kesulitan, tidak bisa mengembangkan permainan, dan kesulitan menghadapi pressing Liverpool. Namun, berulang kali Liverpool gagal memaksimalkan peluang. Di babak kedua, Liverpool lengah, United mencetak gol dari satu-satunya shot on target mereka sepanjang laga, dan Liverpool masih saja kesulitan memaksimalkan peluang dan menaklukkan ketangguhan David de Gea.
Liverpool dan United, dua Raja Inggris ini, adalah kesebelasan-kesebelasan terbesar di tanah mereka. Tapi, yang terlihat sekarang adalah, mereka berusaha mati-matian untuk tetap berdiri supaya hegemoni mereka tidak aus dimakan zaman.
Derby of England tadi malam menunjukkan bagaimana kedua raja itu sedang berusaha menempuh jalan yang teramat panjang untuk bangkit kembali. Klopp masih menjalani tahap proses, sementara Louis van Gaal masih saja berkutat di masa transisi. Keduanya berjuang untuk membangkitkan lagi kejayaan masa lalu.
Menyaksikan Liverpool dan United tadi malam rasanya persis melewati lorong dengan tembok-tembok bata kusam itu. Bedanya, kita tidak tahu seberapa panjang lorong itu dan ke mana ia berujung.
Written By: Rossi Finza - detikSport
Luar biasa komandan... Sukses melaju... YBPB...
BalasHapus