Kamis, 26 Desember 2013

Gaya Bermain Tim Sepakbola: Antara Idealisme, Realitas dan Mitos


"Sederhana. Ia tidak memainkan gaya Tottenham (Tottenham way),"kata seorang penggemar klub ini dengan penuh percaya diri, dalam sebuah diskusi radio tentang pemecetan Andre Villas-Boas beberapa waktu lalu.

Gaya Tottenham?

"Menyerang, operan bola yang cepat, keterampilan tinggi, imajinatif, inovatif dan seterusnya dan seterusnya. Pokoknya permainan yang menawan dan menghibur," begitu penjelasan pendukung Tottenham kalau ditanya.

Tetapi tunggu dulu. Bukankah gaya permainan seperti itu pula yang diklaim oleh pendukung Arsenal, Liverpool, Manchester United, Chelsea, dan sekian klub besar dan kecil Inggris lainnya.

Anda ingat ketika pendukung West Ham menyatakan penolakan mereka dengan penunjukan Sam Allardyce sebagai manajer? "Allardyce dengan gaya asal tendang ke depan akan merusak gaya West Ham (West Ham way),’" kata penolaknya. West Ham way yang dimaksud tentu saja sama dengan Tottenham way di atas.

Bahkan tahun lalu pemecatan Tony Pulis oleh Stoke City juga dikait-kaitkan dengan hal ini. Pulis sering diejek penggemar bola lantaran menampilkan gaya bermain yang lebih mirip rugby --tabrak sana-sini-- ketimbang bermain bola. "Kami menginginkan pelatih yang bisa menampilkan gaya Stoke yang sesungguhnya," ujar penggemar Stoke yang mendukung pemecatan Pulis.

Gaya Stoke yang sesungguhnya? Anda mungkin boleh bertanya dengan sinis soal itu.

Tetapi janganlah mempertanyakan klaim dari Stoke ataupun klub-klub semenjana lain bahkan gurem, semacam yang diklaim Tottenhami itu. Pertanyaan yang lebih mendasar adalah mengapa begitu banyak (pendukung) klub yang melakukan klaim seperti ini?

Sama seperti juga kehidupan kelompok masyarakat lain, masyarakat bola sebenarnya selalu bergerak dalam tiga dataran: ideal, realitas-sejarah dan mitos. Tiga kaki yang membangun klaim hampir semua klub bola itu.

Kalau anda bertanya pada masyarakat, seperti apa tatanan sosial yang ideal itu, maka anda akan mendapat sekian macam jawaban yang berbeda, tergantung latar belakang sosial, politik dan keagamaan mereka. Tetapi tanyakan pada masyarakat bola permainan seperti apa yang ideal, jawabannya akan seragam seperti yang dikatakan pendukung Tottenham itu. Kecuali kalau mereka berbohong, tentu saja.




Idealisasi itu berakar pada kesadaran sepenuhnya bahwa yang paling mendasar dari permainan sepakbola, setelah dipangkas atribut-atribut lainnya, adalah permainan untuk hiburan. Dan tidak ada hiburan yang lebih menyenangkan dalam sepakbola selain gaya permainan yang mempertontonkan serangan, keterampilan yang tinggi, imajinasi dan inovasi. Itu puncak.

Beruntunglah bahwa idealisme itu bersifat nilai (dan karenanya abstrak). Ia bukan layaknya sebuah penemuan (benda) di bidang teknologi yang dipatenkan. Tidak ada pembatasan kepemilikan. Ia juga lebih mirip puisi yang kaya kalimat bersayap dan simbolik, yang telah lepas dari tangan penulisnya. Bisa ditafsir dan dimaknai sendiri oleh masing-masing pembacanya.

Itulah sebab begitu banyak klub mengklaim gaya ideal permainan sepakbola sebagai milik mereka. Karena gaya tersebut adalah bayangan permainan milik masyarakat sepakbola keseluruhan. Bukan ekslusif milik satu dua kelompok.

Kalaulah ada satu klub mengatakan filosofi klub mereka selalu menampilkan permainan yang ideal, maka kita sebenarnya sedang berbicara persoalan aspirasi. Di dataran realitas tidaklah selalu seperti itu. Ada konteks pertandingan, faktor pelatih, sejarah, dan tentu saja --seperti masyarakat pada umumnya-- amnesia selektif.

Kita berbicara saja tentang beberapa contoh, klub-klub yang saat ini dianggap besar dan juga rentang waktu yang jangan terlalu jauh.

Ambil contoh Arsenal. Para pendukungnya sekarang boleh mengatakan the Arsenal way, filosofi permainan bola sajian gaya menyerang indah polesan Arsene Wenger. Namun sedikit mundur saja ke belakang kita tahu bahwa Arsenal tidak selalu seperti itu.

"Boring boring Arsenal – Arsenal yang menjemukan" adalah nyanyian ejekan di pertengahan tahun 80an karena seringnya mereka menang tipis. Mencetak satu gol lalu tutup warung, mengandalkan pertahanan yang solid. Ejekan itu baru berakhir ketika Wenger masuk dan mengubah gaya permainan mereka. Bahkan, setahun setelah Wenger masuk, nyanyian ejekan itu masih sering terdengar di Highbury.

Liverpol menjadi raja domestik dan Eropa sepanjang 70an dan 80an karena mampu mengawinkan permainan kick and rush gaya Inggris dan bola-bola pendek khas Eropa daratan dengan cantik. The Liverpool way.

Tetapi yang dilupakan orang adalah pada saat bersamaan Liverpool sering menampilkan permainan yang sangat membosankan. "Kami menguasai seni safety first ke kiper," kata Alan Hansen, pilar jantung pertahanan Liverpool di masa jaya klub itu, suatu ketika.


Sangat negatif. Anda pasti ingat bahwa pada masa itu peraturan memperbolehkan kiper menangkap bola dari pemain mereka sendiri. Saat itu, Liverpool adalah rajanya untuk yang satu ini.

Manchester United way? "Cetak gol sebanyak mungkin gol ke gawang kami, kami akan mencetak lebih banyak lagi," kata pendukung klub ini seolah mewakili klub menjelaskan filosofi permainan mereka. Seolah menjanjikan permainan yang selalu menyerang, menarik dan terbuka.

Tetapi Manchester United tak selalu seperti itu. Salah satu kehebatan klub ini adalah bermain buruk tetapi tetap bisa menang dengan skor tipis. Dan itu sering.

Chelsea memainkan sepakboa yang lebih bagus ketika masih ditangani Glen Hoddle, Ruud Gullit maupun Gianluca Vialli. Para pendukung awalnya mengeluh ketika Jose Mourinho datang dan menyebutnya tak paham dengan the Chelsea way. Tetapi ketika Chelsea mulai mendominasi sepakbola Inggris, pendukungnya lupa, bungkam dan kemudian bergembira.


Anda tahu, amnesia selektif adalah kekhasan kita umat manusia. Mengingat dan menyimpan hanya yang kita mau, lalu mendorong yang tidak kita inginkan ke pinggir ruang ingatan. Dan ketika ranah ideal dan realitas bertemu menjadi satu, para penggemar bola melakukan proses seleksi yang sama. Sehingga yang mereka ingat hanyalah hal-hal yang mereka anggap cocok dengan permainan ideal sepakbola.

Itu yang terjadi di Liverpool, Manchester United, Chelsea, Arsenal, West Ham, Stoke dan sekian banyak klub lainnya.

Tentu saja dengan sejarah bola yang sudah begitu panjang di Inggris ini, setiap klub mempunyai satu masa, sekian pertandingan, sekian pelatih yang menampilkan permainan ideal itu. Bahwa ada juga yang kebalikannya, tidak masalah. Seperti saya katakan: yang berkebalikan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ideal akan didorong untuk dibuang dan dilupakan dan dikatakan bukan gaya kami, tidak sesuai dengan filosofi kami dan lain sebagainya.

Di sinilah kemudian mitos mempunyai celah untuk masuk, menjembatani realitas dan yang ideal. Mitos, seperti kita tahu, pengertian sederhananya adalah dongeng untuk menjelaskan realitas yang dihadapi manusia terkait dengan "sesuatu" yang lebih besar (supra).

Ia, mitos dalam konteks klub sepakbola, adalah sebuah upaya untuk mendudukkan gaya permainan klub dalam atmosfer ideal permainan sepakbola. Amnesia selektif adalah prosesnya: upaya untuk melakukan eksklusi dan inklusi. Datanya tersedia di perjalanan sejarah klub.

Karenanya ketika orang mengatakan ......... way (silakan isi titik itu sendiri dengan klub yang mana saja), ia sedang mendongeng-mencoba menjembatani realita gaya bermain klubnya dan yang ideal-sepakbola yang seharusnya sebagai sebuah hiburan.

London, 20 Desember 2013.

Source:
http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/12/23/114200/2449329/1489/4/gaya-bermain-tim-sepakbola-antara-idealisme-realitas-dan-mitos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar