Jumat, 28 Juni 2013

Secarik Kertas Tua Berisi Bukti Sepakbola Membekukan Perang


LONDON – Orang-orang Inggris yang dahulu kala secara tak sengaja menebarkan virus sepakbola ke segala sudut dunia, mungkin tak menyangka permainan mengejar sebuah benda bulat dilapisi kulit hewan ini bisa menyaingi hegemoni politik dunia – bahkan sampai yang namanya perang.

Perang jelas merupakan bagian dari politik di mana sejumlah pakar politik sepakat bahwa yang namanya perang merupakan diplomasi politik dalam bentuk lain. Namun mereka sepertinya khilaf untuk tak menyertakan pula yang namanya sepakbola sebagai alat diplomasi berupa perdamaian.

Dari catatan sejarah yang sudah ada, perdamaian pertama yang “diracuni” virus sepakbola terjadi tahun 1914 silam. Ya, tepatnya saat The Great War atau Perang Dunia I tengah panas-panasnya berkecamuk di Eropa antara sekutu kontra Jerman.

Track-record peran sepakbola tertuang dalam secarik kertas tua yang dikirim seorang perwira menengah Inggris kepada keluarganya dari front terdepan. Surat itu berisikan kabar yang terbilang ganjil di masa perang kala itu lantaran merekam ingatan seorang Sersan Inggris bernama Clement Barker tentang pengalamannya.

Pengalaman terjadinya gencatan senjata pada malam sebelum dan di hari Natal serta puncaknya, digelar pertandingan sepakbola antara tentara sekutu (Inggris, Prancis, Belgia) melawan kubu musuh – Jerman.

Surat itu dikirimkan pada hari Natal dan sampai ke tangan sang adik, Montague Barker, empat hari berselang. Sang adik pun sempat terpana melihat tulisan dari goresan pensil yang berbunyi:

“Seorang kurir datang dari garis pertahanan Jerman dan mengatakan bahwa jika pihak kami tak menembak, maka mereka juga takkan balas menembak di hari Natal.

Seorang serdadu Jerman terlihat melongok dan keluar dari paritnya – tak ada tembakan – pasukan kami juga tak menembak. Lalu beberapa dari kami ikut keluar dan mengurusi teman-teman kami yang tewas. Hal yang terjadi kemudian, sebuah bola sepak terlihat melayang dari parit kami. Puncaknya, tentara Jerman dan Inggris pun bermain sepakbola,”.

Memang, si kulit bundar tak memberi perdamaian permanen di antara mereka – hanya sampai Natal berakhir dan perang pun masih membara untuk empat tahun berikutnya dengan total 10 juta jiwa tewas. Kendati begitu, sepakbola benar-benar mendekatkan “mereka-mereka” yang tengah berkonflik. Tidak hanya ideologi, bahkan bagi mereka yang memegang senjata di tangannya.

Tapi setidaknya, permainan yang tak jelas siapa yang menang atau kalah itu, tetap memberi kebahagiaan bagi kedua kubu yang berperang. Usai lelah bermain, para tentara dari kedua pihak saling bertukar rokok, makanan serta anggur dengan disertai tembang-tembang Natal yang dinyanyikan bersama.

Surat itu kemudian saat ini terpelihara rapi di Museum Perang Kerajaan Inggris dan diakui seorang sejarawan lokal, James Taylor, bahwa permainan sederhana yang kini mendunia, benar-benar sanggup melupakan sejenak yang namanya baku tembak dan mengalirkan masing-masing energi untuk satu tujuan – menceploskan bola ke gawang lawan.

“Surat ini punya nilai sejarah yang luar biasa. Sedikit dari beberapa bukti sikap kekesatriaan yang terdapat pada perang dunia pertama. Bahkan melahirkan gagasan menarik di mana negara-negara yang berperang, berpotensi menyelesaikan masalah lebih baik dengan berbekal gelaran olahraga ketimbang perang,” ujar Taylor.

Kendati demikian, sepakbola modern yang kini sudah menjadi industri, kebanyakan malah berbalik terpengaruh politik – bukan lagi mempengaruhi. Konflik antara negara malah acap yang “diteruskan” ke lapangan hijau.

Jangankan antar negara, sesama negara sendiri saja sepakbola bisa jadi alat pemecah jika memang yang memegang wewenang resmi sepakbola menggunakannya dengan cara yang keliru. Mau bukti? Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh ke Eropa, tengok saja dulu kondisi sepakbola Indonesia.

Padahal sejarah selalu mengajarkan kita untuk selalu introspeksi diri, selalu mengevaluasi apa yang salah. Sejarah sudah mengajarkan dan sepatutnya tak dilupakan dengan dalih, “Sejarah hanya peristiwa masa lampau yang harus dilewatkan. Mau maju yang mesti melihat ke depan”.

Opini macam itu percaya tak percaya sudah cukup sering terdengar di tengah-tengah kita – masyarakat Indonesia sendiri. Yang mesti kita pahami adalah, sejarah selalu mengajarkan dan contohnya sudah ada di atas tadi.

Kisah di atas juga sempat digubah ke dalam sebuah film produksi delapan tahun silam berjudul “Joyeux Nöel”. Kisahnya kurang lebih sama dengan menggambarkan apa-apa saja detail yang terjadi saat terciptanya “Truce 1914” atau gencatan senjata 1914 tersebut di sebuah medan front barat perang dunia pertama. (raw)

Sumber: http://www.okezone.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar